ADAT
PERNIKAHAN DAN TRADISI NYONGKOLAN SUKU SASAK
Adat perkawinan Sasak dikenal ada
delapan tahapan yang harus dilewati. Pertama,
midang (meminang), yang termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang
(ngunjungi pacar di luar rumah) dan bejambe’ atau mereweh (pemberian
barang kepada calon perempuan untuk memperkuat hubungan).
Kedua, pihak
laki-laki harus mencuri (melarikan) penganten perempuan. Hal ini dilakukan
untuk menjaga martabat (harga diri) keluarga. Tradisi hidup adat Sasak yang
beranggapan bahwa “memberikan
perempuan kepada laki-laki tanpa proses mencuri itu sama halnya dengan
memberikan telur atau seekor ayam”.
Ketiga,
pihak laki-laki
harus melaporkan kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin
perempuan tersebut tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). Kemudian
utusan laki-laki memberitahukan langsung kepada keluarga pihak perempuan
tentang kebenaran terjadinya perkawinan itu yang biasa dikenal dengan mesejati.
Agar perkawinan itu bisa terlaksana menurut hukum Islam. Keluarga pengantin
laki-laki melakukan tradisi mbait wali, yakni permintaan keluarga
laki-laki supaya wali dari pihak perempuan menikahkan anaknya dengan cara
Islam. Selabar, mesejati dan mbait wali merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan, sebab dengan tiga proses ini perkawinan baru dapat
dilaksanakan secara Islam. Dalam proses mbait wali ini dilakukan
pembicaraan (tawar-menawar) uang pisuka (jaminan) dan mahar (maskawin).
Keempat, pelunasan
uang jaminan dan mahar. Pihak
laki-laki dituntut untuk membayar uang jaminan kepada pihak keluarga perempuan.
Jika pihak laki-laki tidak dapat memberikan uang jaminan, dapat dipastikan perkawinan
akan gagal.
Kelima,
setelah
pelunasan pembayaran uang jaminan, barulah dilakukan akad nikah dengan cara
Islam. Keenam, sorong doe atau
sorong serah, yakni acara pesta perkawinan atau resepsi pernikahan pada
waktu orang tua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-laki,
yang semua biayanya menjadi tanggung-jawab pihak laki-laki.
Ketujuh,
nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak perempuan pada pihak
keluarganya. Biasanya dalam acara ini pasangan pengantin diiringi keliling
kampung dengan berjalan kaki diiringi musik tradisional (gendang belek dan
kecimol).
Secara lebih sederhana, kedelapan
prosesi itu dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni proses perkenalan (midang,
beberayean atau bekemelean,
subandar), lari bersama untuk kawin (melaiang atau merari’,
sejati, selabar), dan akad nikah dan proses penyelesaiannya (ngawinang,
sorong serah, pembayun, nyongkolan, dan bales nae). Jika dilihat dari acara
adat Sasak, prosesi perkawinan tersebut dapat juga dibagi menjadi tiga, yakni
adat sebelum perkawinan (midang, ngujang, bejambe’ atau mereweh, dan subandar),
adat dalam proses perkawinan (memulang atau melarikan, sejati atau
pemberitahuan, pemuput selabar, sorong doe atau sorong serah, dan
nyongkol), dan adat setelah perkawinan (bales nae).
Tradisi adat Sasak Lombok ini
sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke
dan nyongkolan. Pisuke
sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada
kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberian pisuke dalam budaya sasak bukan
berarti memperjualbelikan anak perempuan. Namun, pemberian uang/barang pisuke
lebih dimaknai sebagai penghargaan atas jerih payah yang dilakukan oleh
keluarga sang gadis dalam membesarkan dan mendidiknya selama puluhan tahun, hingga
dewasa dan siap dinikahkan. Selain itu, diharapkan dengan adanya tradisi
pemberian pisuke akan mengurangi kebiasaan pria untuk melakukan
kawin cerai, yang dampak negatifnya banyak tertumpu kepada pihak perempuan.
Dengan adanya tradisi tersebut, nantinya bisa menjadi pemikiran dan
pertimbangan jika suatu saat sang pria hendak menceraikan istrinya.
Demikian juga acara nyongkolan merupakan sarana
pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw.
Filosofi dari tradisi nyongkolan adalah
mengantar kembali pulang mempelai perempuan kepada pihak keluarganya, stelah
beberapa hari atau bahkan ada yang sampai 1 bulanan, yang diiringi oleh
ratusan bahkan ribuan masyarakat, termasuk iringan-iringin musik tradisional
khas daerah Lombok. Hal ini menujukkan bahwa sang perempuan adalah pihak yang
harus dihormati dan dijunjung tinggi kodratnya. Dengan demikian, baik mempelai
perempuan maupun pihak keluarganya merasa dihargai dan dihormati, mengingat
tradisi ini biasanya diikuti dengan prmohonan maaf dari pihak mempelai
laki-laki kepada sang istri dan juga keluarganya.
Narasumber : Muslihun, M.Ag
sangat bermanfaat :)
BalasHapusterimakasih. telah berkunjung di blogku :)
HapusSangat bermanfaat. Kembangkan
BalasHapusterimakasaih telah berkunjung di blogku :)
HapusSangat bermanfaat artikelnya
BalasHapusKembalikan nyongkolam yg dulu
BalasHapus:)
HapusBudaya yang menarik.
BalasHapusArtikelnya sangat bermanfaat.
Terimakasih🙂
terimakasih telah berkunjung di blogku :)
Hapus8 tahapan mksdx?
BalasHapuscoba baca baik-baik artikelnya mba :)
HapusBudaya yang menarik.
BalasHapusArtikelnya sangat bermanfaat.
Terimakasih🙂
terimakasih :)
HapusMenarik, dan semoga bermanfaat bagi semua pembaca khususnya bagi masyarakat suku sasak sendiri
BalasHapusAmin :)
Hapustulisan ini sangat membantu :)
BalasHapusbudaya yang menarik.
BalasHapusterimakasih informasinya :)
sama-sama mba :)
HapusLuar biasa budaya sasak
BalasHapus:)
Hapussangat bermanfaat dan menambah wawasan
BalasHapusterimakasih mba, telah berkunjung di blogku :)
Hapus👍👍👍👍
BalasHapusjazakallah khir atas artikelnya, bagus
BalasHapussyukron, semoga artikelnya bermanfaat :)
HapusSemoga bermanfaat
BalasHapusAmin :)
Hapussama-sama mba. semoga bermanfaat :)
BalasHapus