Rabu, 27 Desember 2017

MENGENAL DAN MEMAHAMI BAHASA DAN AKSARA NTB


MENGENAL DAN MEMAHAMI BAHASA DAN AKSARA NTB

Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan  berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa lampau. Naskah yang terdapat di NTB, dibagi menjadi dua, yaitu naskah Lombok dan naskah Sumbawa. Kedua naskah ini, masing-masing mempunyai perbedaan yang menjadi cirri khasnya. Naskah Lombok beraksara Jejawan (Jawa-Sasak) dan bahasa Sasak, sedangkannaskah Sumbawa beraksara Jontal dan bahasa Sumbawa atau Bima.
Perbedaan asksara dan bahasa tadi dikarenakankeduanya mempunyai pengaruh budaya yang berbeda. Tradisi tulisa di Lombok mendapatnpengarh dari Jawa dan Bali, seperti aksara, bahasa, dan sistem penulisan (menggunakan tembang). Sumbawa mendapat pengaruh dari budaya Bugis, dan Arab-Melayu. Naskah-naskah yang menggunakan aksara dan bahasa di luar NTB ini, menunjukkan keragaman budaya yang masuk ke-NTB melalui tradisi tulis.
Keberdaan naskah-naskah NTB tadi jumlahnya sangat banyak, baik terdapat di masyarakat menjadi milik perorangan atau kelompok, maupun di pusat-pusat studi dan pelestarian kebudayaan yng ada di dalam dan luar negeri. Museum NTB sendiri, sampai tahun 2010 memiliki koleksi naskah sebanyak 1.392 buah.
(Narasumber: Museum NTB)

Senin, 25 Desember 2017

KEUNIKAN ADAT PERNIKAHAN DAN TRADISI NYONGKOLAN SUKU SASAK


ADAT PERNIKAHAN DAN TRADISI NYONGKOLAN SUKU SASAK
Adat perkawinan Sasak dikenal ada delapan tahapan yang harus dilewati. Pertama, midang (meminang), yang termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (ngunjungi pacar di luar rumah) dan bejambe’ atau mereweh (pemberian barang kepada calon perempuan untuk memperkuat hubungan).
Kedua, pihak laki-laki harus mencuri (melarikan) penganten perempuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga martabat (harga diri) keluarga. Tradisi hidup adat Sasak yang beranggapan bahwa memberikan perempuan kepada laki-laki tanpa proses mencuri itu sama halnya dengan memberikan telur atau seekor ayam”.
Ketiga, pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). Kemudian utusan laki-laki memberitahukan langsung kepada keluarga pihak perempuan tentang kebenaran terjadinya perkawinan itu yang biasa dikenal dengan mesejati. Agar perkawinan itu bisa terlaksana menurut hukum Islam. Keluarga pengantin laki-laki melakukan tradisi mbait wali, yakni permintaan keluarga laki-laki supaya wali dari pihak perempuan menikahkan anaknya dengan cara Islam. Selabar, mesejati dan mbait wali merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sebab dengan tiga proses ini perkawinan baru dapat dilaksanakan secara Islam. Dalam proses mbait wali ini dilakukan pembicaraan (tawar-menawar) uang pisuka (jaminan) dan mahar (maskawin).
Keempat, pelunasan uang jaminan dan mahar. Pihak laki-laki dituntut untuk membayar uang jaminan kepada pihak keluarga perempuan. Jika pihak laki-laki tidak dapat memberikan uang jaminan, dapat dipastikan perkawinan akan gagal.
Kelima, setelah pelunasan pembayaran uang jaminan, barulah dilakukan akad nikah dengan cara Islam. Keenam, sorong doe atau sorong serah, yakni acara pesta perkawinan atau resepsi pernikahan pada waktu orang tua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-laki, yang semua biayanya menjadi tanggung-jawab pihak laki-laki.
Ketujuh, nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak perempuan pada pihak keluarganya. Biasanya dalam acara ini pasangan pengantin diiringi keliling kampung dengan berjalan kaki diiringi musik tradisional (gendang belek dan kecimol).
Secara lebih sederhana, kedelapan prosesi itu dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni proses perkenalan (midang, beberayean atau bekemelean, subandar), lari bersama untuk kawin (melaiang atau merari’, sejati, selabar), dan akad nikah dan proses penyelesaiannya (ngawinang, sorong serah, pembayun, nyongkolan, dan bales nae). Jika dilihat dari acara adat Sasak, prosesi perkawinan tersebut dapat juga dibagi menjadi tiga, yakni adat sebelum perkawinan (midang, ngujang, bejambe’ atau mereweh, dan subandar), adat dalam proses perkawinan (memulang atau melarikan, sejati atau pemberitahuan, pemuput selabar, sorong doe atau sorong serah, dan nyongkol), dan adat setelah perkawinan (bales nae).
Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.  Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberian pisuke dalam budaya sasak bukan berarti memperjualbelikan anak perempuan. Namun, pemberian uang/barang pisuke lebih dimaknai sebagai penghargaan atas jerih payah yang dilakukan oleh keluarga sang gadis dalam membesarkan dan mendidiknya selama puluhan tahun, hingga dewasa dan siap dinikahkan. Selain itu, diharapkan dengan adanya tradisi pemberian pisuke akan mengurangi kebiasaan pria untuk melakukan kawin cerai, yang dampak negatifnya banyak tertumpu kepada pihak perempuan. Dengan adanya tradisi tersebut, nantinya bisa menjadi pemikiran dan pertimbangan jika suatu saat sang pria hendak menceraikan istrinya.
Demikian juga acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw.
Filosofi dari tradisi nyongkolan adalah mengantar kembali pulang mempelai perempuan kepada pihak keluarganya, stelah beberapa hari atau bahkan ada yang sampai 1 bulanan,  yang diiringi oleh ratusan bahkan ribuan masyarakat, termasuk iringan-iringin musik tradisional khas daerah Lombok. Hal ini menujukkan bahwa sang perempuan adalah pihak yang harus dihormati dan dijunjung tinggi kodratnya. Dengan demikian, baik mempelai perempuan maupun pihak keluarganya merasa dihargai dan dihormati, mengingat tradisi ini biasanya diikuti dengan prmohonan maaf dari pihak mempelai laki-laki kepada sang istri dan juga keluarganya.


Narasumber : Muslihun, M.Ag